Archive for Februari 2016

GREBEK SURO PONOROGO & FESTIVAL REOG



PONOROGO– Rangkaian grebeg Suro di Ponorogo, ditandai dengan diserahkannya piala bergilir kepada pemenang dalam Festival Reog Nasional ke-22 tadi malam. Sebanyak 40 grup kesenian reog dari berbagai Kabupaten Dan Provinsi di Indonesia bakal bertarung memperebutkan Piala Bergilir Presiden di panggung Utama Ponorogo.


            Acara yang sudah digelar sebanyak 22 kali ini, tetap menjadi daya tarik wisatawan. Mereka berjubel di alun-alun Ponorogo. Setidaknya jumlahnya mencapai puluhan ribu. Bahkan ratusan pedagang kali lima (PKL) dan penjual jasa mainan anak-anak semakin membuat acara yang menelan anggaran Rp 1,5 miliar selama sepekan itu, membuat semakin semarak dan merakyat. Selain acara penyerahan piala bergilir, ribuan penonton yang menyemut di alun-alun Ponorogo ini dihibur berbagai penampilan. Salah satu diantaranya adalah penampilan grup reog pembuka serta pelepasan kembang api sebagai tanda pembukaan rangkaian acara yang dilaksanakan Sebulan Penuh itu.


            Pembukaan itu terasa istimewa pasalnya dalam pembukaan FRN kali ini dibuka oleh Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, ditandai dengan pemukulan gong serta menyalakan kembang api massal. Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga (Parbudpora) Pemkab Ponorogo, Sapto Djadmiko mengatakan peserta FRN XXII diramaikan puluhan grup kesenian reog baik dari Ponorogo, dari luar Ponorogo serta dari luar Provinsi Jawa Timur.


            "Peserta Kali ini lebih banyak dari tahun sebelumnmy,apasalnya panitia bekerja lebih keras sehingga antusias peserta meningkat, dan semoga acara FRN dari Tahun ke tahun semakin berkesan dan membawa Ponorogo semakin maju di bidang kesenian yaitu reog Ponorogo," pungkasnya

Ritual Nyadran Bregodo Brang wetan yogyakarta



YOGYAKARTA – Dalam menyambut bulan suci Ramadhan, masyarakat Bantul, Yogyakarta menggelar tradisi Nyadran di Makam Sewu, Desa Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakarta, Senin 8 Juni 2015. Tradisi Nyadran tersebut dihadiri oleh Kepala Camat Pandak, Agus Sulistiyono, Staf Ahli Bupati Bantul, Subayanta Hadi, dan diramaikan oleh masyarakat sekitar maupun masyarakat luar dari luar Desa Wijirejo. Nyadran sendiri berasal dari kata Yadaronan di mana masyarakat pada bulan ruwah disunahkan untuk ziarah kubur dengan membaca Assalamualaikum Ya Daro Qoumin mu’minin.


            Digelarnya Nyadran guna mengirim doa kepada para leluhur, khususnya nyekar ke makam Panembahan Bodho. Berbagai kegiatan dilakukan saat acara nyadran, seperti kirab jodhang yang diawali dari balai Desa Wijirejo ke makam sewu. Kirab jodhang tersebut merupakan lima jodhang dan gunungan apem yang dibawa oleh masyarakat secara iring-iringan. Sesampainya di makam sewu, jodhang dan gunungan apem diletakkan di pendopo makam dekat masjid untuk didoakan. Setelah didoakan, gunungan apem akan dibawa keluar pendopo dan diperebutkan oleh warga.

JARAN BODHAG ASAL PROBOLINGGO UNTUK INDONESIA



PROBOLINGGO (BM) – Untuk memeriahkan gelaran Semipro (Seminggu di Kota Probolinggo) Agustus mendatang, Pemkot Probolinggo melalui Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Dispobpar) akan menggelar Festival Jaran Bodhag. Acara digelar 31 Agustus di halaman museum Kota Probolinggo. kesenian Jaran Bodhag yang khas Kota Probolinggo.
Menurut Kadispobpar Kota Probolinggo, Misbahul Munir, Senin (13/7), persyaratan yang harus dipenuhi pesera festival Jaran Bodhag, di antaranya, pendaftaran dibuka mulai 27 Juli mendatang di Kantor Dispobpar Kota Probolinggo Jl Soekarno-Hatta 273 pada jam kerja, dengan menghubungi Ngatminto (082143615562) di Bidang Budaya.
            “Technical Meeting akan diadakan pada 27 Agustus 2015, di aula Kantor Dispobpar dan usia peserta minimal 13 tahun,” kata Misbahul Munir. “Persyaratan lainnya, peserta harus menggunakan Jaran Bodhag milik sendiri, dan peserta harus membawa pengrawit sendiri, tidak boleh merangkap,” lanjut Munir. Bagi pemenang, Kadispobpar menyebutkan, akan mendapatkan hadiah berupa tropi dan uang pembinaan.


            Kesenian Jaran Bodhag merupakan kesenian asli Kota Probolinggo, yang pada tahun 2014 lalu telah ditetapkan dalam daftar warisan budaya Indonesia, dan hingga saat ini Jaran Bodhag tetap populer di kalangan masyarakat Probolinggo, Biasa digunakan untuk mengiringi, dan mengarak acara hajatan, pernikahan, khitanan.
            Jaran Bodhag dalam terminologi Bahasa Jawa-Madura dimaknai sebagai jaran yang berarti kuda dan bodhag yang berarti wadah, dimaksudkan sebagai kuda tiruan yang terbuat dari kayu, menyerupai kepala kuda sampai leher. Kemudian leher kuda kayu itu disambung dengan peralatan lengkap dengan aksesoris.

Ketoprak “Songgolangit”, Asal Usul Reyog Ponorogo



            SURABAYA: Sajian seni pertunjukan yang mengisahkan asal-usul Reyog Ponorogo disajikan dalam bentuk Ketoprak di Taman Budaya Jatim, Jl. Gentengkali 85 Surabaya November 9, 2015  brangwetan , Jum’at malam (13/11). Pertunjukan ketoprak dengan judul “Songgolangit” ini merupakan rangkaian Gelar Seni Budaya Daerah (GSBD) “Mutiara Budaya Bumi Reyog” yang berlangsung hingga Sabtu malam 14/11). Gatot Eko Triono, S.Pd bertindak sebagai sutradara, penata musik Bagus Tri Anggono, sedangkan naskah ditulis oleh Drs. Hariadi. 


            Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jatim, DR. H. Jarianto, M.Si, menuturkan bahwa kabupaten Ponorogo memang sudah identik dengan kesenian reyognya. Tiap tahun diselenggarakan festival yang diikuti oleh peserta dari berbagai daerah. Namun demikian, Ponorogo bukan hanya punya reyog, namun masih banyak kesenian lainnya. Demikian pula potensi seni budaya dan pariwisatanya.
            Ketoprak “Songgolangit” itu sendiri berkisah mengenai sosok Dewi Songgolangit yang cantik jelita, putri seorang penguasa Kediri. Kecantikannya menggoda Prabu Klono Sewandono dari Bantarangin Ponorogo, dengan Maha Patih Pujangga Anom, yang sangat menginginkan untuk mempersuntingnya. Tetapi keinginan tersebut tidak dapat berjalan mulus karena mahapatih dari Lodaya Kediri juga menaruh hati kepada Dewi Songgolangit.
            Terjadilah pertarungan diantara keduanya, yang akhirnya dimenangkan oleh Prabu Klono Sewandono. Namun ternyata Dewi Songgolangit tidak begitu saja menerima secara langsung, melainkan dengan syarat, Prabu Klono Sewandono harus mampu menyuguhkan sebuah tontonan yang belum pernah ada di bawah kolong langit. Sang Prabu memahami permintaan itu dan menyanggupinya. Maka jadilah pertunjukan Reyog seperti yang dikenal selama ini.
            Arak-arakan Reyog ini pula yang akan mengawal peninjauan stand pameran dalam pembukaan Jum’at sore. Pada malam yang sama, juga disajikan Tari Kidung Samandiman, Tari Yaksa Anjalma dan Tari Obyog, yang dipungkasi dengan ketoprak Songgolangit.
            Hari kedua, GSBD sudah dimulai pagi hari dengan acara Lomba Menghias Celengan dan pergelaran Reyog Obyog di siang hari. Malam harinya, dihadirkan serangkaian sajian yaitu pergelaran Reyog, Tari Jengganong, Tari Wirengasmara dan dipungkasi oleh Guyon Maton “Sawung Asmara”. 


            Selama dua hari ini, juga disajikan bazar kuliner dan cenderamata, pameran potensi seni budaya serta pemutaran potensi pariwisata Kabupaten Ponorogo.

RITUAL KEDUK BEDJI TRADISI DARI TAWUN NGAWI



TAWUN Selasa 27 novenber 2012  Masyarakat Desa Tawun, Kecamatan Kasreman-Ngawi mempunyai tradisi tahunan yang cukup unik. Dipercaya sebagai sarana menolak petaka atau “tolak balak”, masyarakat setempat gelar ritual Keduk Beji, yang diadakan sekali dalam setahun, tepatnya pada hari Selasa Kliwon menurut penanggalan Jawa.




            Hal ini sebagai sarana penghormatan kepada Eyang Ludro Joyo atas sumber penghidupan Keduk Beji. Prosesi upacara adat ini di awali ratusan peserta berkumpul di sumber berukuran 20 x 30 meter. Ritual dimulai dengan melakukan pengerukan atau pembersihan kotoran dengan mengambil sampah dan daun-daun yang mengotori sumber mata air Beji yang berada di Desa Tawun. Terlihat seluruh peserta yang terdiri atas kalangan anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua tumpah ruah menceburkan diri ke kolam.
            Kemudian sesepuh Desa Tawun selaku Juru Silep, Mbah Wo Supomo (67), mengatakan, upacara Keduk Beji ini, merupakan salah satu cara untuk melestarikan adat budaya penduduk Desa Tawun sejak jaman dulu. Tujuan utamanya adalah mengeduk atau membersihkan Sumber Beji dari kotoran. Karena di sumber inilah letak kehidupan penduduk Tawun, ujarnya kepada wartawan.
            Setiap tahun pada hari Selasa Kliwon masyarakat di sini selalu mengadakan ritual semacam ini untuk menolak balak semua petaka yang bakal dihadapi,” terang Supomo, Selasa (27/11). Menurutnya, inti dari ritual Keduk Beji terletak pada penyilepan atau penyimpanan kendi yang berisi air legen di pusat sumber air Beji. Pusat sumber tersebut terdapat di dalam gua yang terdapat di dalam sumber Beji sendiri.
Ritual ini berawal dari (legenda) warisan Eyang Ludro Joyo yang dulu pernah bertapa di Sumber Beji untuk mencari ketenangan dan kesejahteraan hidup. Setelah bertapa lama, tepat di hari Selasa Kliwon, jasad Eyang Ludro Joyo dipercaya hilang dan timbulah air sumber ini. Ritual ini berawal dari pengedukkan atau pembersihan kotoran di dalam sumber Beji.
            Seluruh pemuda desa terjun ke air sumber untuk mengambil sampah dan daun-daun yang mengotori kolam dalam setahun terakhir. Dalam proses ini, diwarnai mandi lumpur oleh para pemuda yang terjun ke air. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan penyilepan kendi ke dalam pusat sumber. Setelah itu, penyiraman air legen ke dalam sumber Beji dan penyeberangan sesaji dari arah timur ke barat sumber.

            
            Sesaji tersebut berisi makanan khas Jawa seperti, jadah, jenang, rengginan, lempeng, tempe, yang ditambah buah pisang, kelapa, bunga, dan telur ayam kampung. Selama penyeberangan sesaji, para pemuda yang berada di sekitar sumber Beji berjoged dan melakukan ritual saling gepuk dengan diringi gending Jawa. Ritual ditutup dengan makan bersama Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon yang telah disediakan bagi warga untuk “ngalap” (meraih) berkah. Warga saling berebut makanan yang dipercaya bisa mendatangkan berkah bagi kehidupannya kelak.

- Copyright © milhatulmaiziah29blog - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -